STOP
KEKERASAN ANAK!
Akhir-akhir ini
kita sering mendengar tentang kasus kekerasan pada anak. Menurut Ketua
Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menegaskan,
kekerasan pada anak sudah sangat mengerikan dan bisa dikatakan pada tahap darurat.
Fakta itu terungkap dari data kekerasan yang diterima Komnas Perlindungan Anak
cenderung meningkat.
Kekerasan sering
terjadi di tempat yang selama ini sering di anggap sebagai tempat teraman di
dunia yakni di rumah. Masa anak-anak harusnya dipenuhi dengan tawa dan canda
bersama keluarga, tapi hal ini tidak berlaku untuk beberapa anak yang pernah
mengalami kekerasan sejak dini oleh orang dewasa bahkan orang tua sendiri. Sebagai
orang tua harusnya bisa menjaga dan membahagiakan anak-anak mereka dengan baik
dan bukannya malah melakukan tindak kekerasan. Anehnya alasan orang tua yang
ketahuan melakukan kekerasan ini sangat sederhana seperti karena anak tidak mau
menurut perkataan orang tua, anak menangis meminta dibelikan sesuatu, anak yang
mengompol, anak tidak ingin makan, dan masih banyak alasan sederhana lainnya.
Banyak
contoh-contoh kasus yang kita dengar, baca, atau lihat di media tentang kasus
kekerasan anak ini. Contohnya kasus Nabila bocah berusia
7 tahun, warga Desa Kebonjati, Sumedang Utara yang dianiaya ayah kandungnya Dede Yana Taryana. Nuraina, bocah
usia 4 tahun yang diduga menjadi korban penganiayaan Ibu dan ayah hingga
akhirnya tewas. Menurut kesaksian tetangga, ibu korban sering menyiksa
korban yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri. Angga, bocah kelas 5 SD 03 Kalibaru mengalami luka
memar di bagian belakang kepala, pipi, hidung dan bibir akibat dianiaya ayah
kandungnya sendiri karena meminta dibelikan sampul buku.
Di Cirebon sendiri banyak kasus kekerasan anak, tetapi
sulit untuk diungkap. Menurut Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, "Informasi
keberadaan dan jaminan perlindungan yang diberikan LPSK, diharapkan mampu
menjangkau pemenuhan hak korban, terutama di daerah. Wilayah Cirebon sebagai
daerah pesisir utara, berpotensi tinggi terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak. Sehingga sosialisasi LPSK sangat strategis di wilayah ini."
"Sulitnya pengungkapan kasus kekerasan seksual pada
anak, disinyalir karena pelaku kekerasan didominasi orang terdekat korban.
Seperti bapak kandung, tetangga, majikan, paman dan lain sebagainya, sehingga
korban takut mengungkapkannya dan melapor ke aparat penegak hukum,"
ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta.
Selain kekerasan seksual tersebut, banyak juga kasus-kasus
yang tidak muncul kepermukaan seperti kekerasan orang tua yang menganggap wajar
menghukum anak dengan cara mencubit, memukul, menampar, menjewer, dan
sebagainya, padahal hal seperti ini termasuk ke dalam kategori yang bisa
dikategorikan kekerasan fisik pada anak dan ada sangsi pidananya.
Perlu diingatkan lagi bahwa
kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana seperti pada pasal 13 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002
tentang UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi,
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan,
dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
Menurut buku "Kitab
Undang-Udang Hukum Pidana (KUHP) dan Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal" yang ditulis R. Soesilo di KUHP tidak mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan penganiayaan dan penganiayaan ringan. Namun, menurut Yurisprudensi,
yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak
enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Contoh “rasa sakit” tersebut
misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
Selain itu, ketentuan Pasal 80
ayat (1) UU Perlindungan Anak juga sudah secara khusus mengatur tentang
penganiayaan terhadap anak, dengan menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau
ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”
Dampak yang timbul akibat kekerasan
pada anak sangat beragam, seperti anak akan merasa terancam, tertekan, gelisah,
dan cemas, membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk mendisiplinkan
anak yang mengakibatkan jika dewasa nanti anak akan menggunakan pendekatan
kekerasan untuk mendisiplinkan anak, kelainan-kelainan psikologisnya trauma, bipolar (gangguan pada perasaan seseorang akibat masalah di otak, ditandai
dengan perpindahan (swing) mood, pikiran, dan perubahan perilaku), dan banyak lagi.
Sebagai orang tua kita diharapkan
untuk dapat melatih mengelola emosi agar tidak melimpahkan kekesalan
atau amarah sembarangan kepada anak dan bila perlu konsultasi kepada psikolog
agar dapat mengendalikan emosi. Biasakan bersikap terbuka terhadap
anak dan menghargai kejujuran anak agar anak tidak takut bersikap terbuka. Yakinkan
anak, tak ada rahasia yang harus mereka sembunyikan, minta anak selalu
menceritakan pengalamannya, peka pada perubahan yang terjadi pada anak, bila
anak melakukan sesuatu yang baik berikan pujian secukupnya, jika anak melakukan
kesalahan, maka beritahulah kalau itu salah dan jangan menghukum anak dengan
hukuman yang tak sepantasnya. Ajak anak ke psikolog untuk pemeriksaan
psikologis dan mendapat terapi yang sesuai agar anak bisa mengendalikan emosi
yang dirasakan. Melakukan pemeriksaan untuk menanggulangi masalah fisik, selain
itu juga orang tua harus menciptakan rasa aman bagi anak.
Harus diingat lagi untuk semuanya bahwa kekerasan yang
dilakukan pada anak bukanlah metode pendisiplinan yang baik, jika dalam
lingkungan keluarga saja anak sudah merasa tidak aman dan terancam, maka akan
berdampak buruk bagi kelangsungan hidup baik psikis maupun fisik, cacat fisik
memang dapat disembuhkan, tapi cacat psikislah yang sangat susah disembuhkan, sayangilah
anak karena anak adalah anugrah terindah dalam hidup. Hentikan kebiasaan menghukum kesalahan anak dengan kekerasan fisik.
Ubahlah pola pendisiplinan anak dengan cara yang lebih baik. Karena selain
melanggar hukum perlindungan anak, kekerasan terhadap anak juga merupakan awal
pembentukan generasi dengan pola hidup yang buruk. Mulailah perubahan itu dari
lingkungan kita sendiri, karena hal sekecil apapun akan menentukan nasib anak
di masa mendatang.
Di buat oleh Nurlaela
Mahasiswi Semester 3
DIKSATRASIA di Unswagati, Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar