Selasa, 06 Januari 2015

Artikel Kekerasan Anak, Nurlaela (2E/113050143)



STOP KEKERASAN ANAK!

Akhir-akhir ini kita sering mendengar tentang kasus kekerasan pada anak. Menurut Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menegaskan, kekerasan pada anak sudah sangat mengerikan dan bisa dikatakan pada tahap darurat. Fakta itu terungkap dari data kekerasan yang diterima Komnas Perlindungan Anak cenderung meningkat.
Kekerasan sering terjadi di tempat yang selama ini sering di anggap sebagai tempat teraman di dunia yakni di rumah. Masa anak-anak harusnya dipenuhi dengan tawa dan canda bersama keluarga, tapi hal ini tidak berlaku untuk beberapa anak yang pernah mengalami kekerasan sejak dini oleh orang dewasa bahkan orang tua sendiri. Sebagai orang tua harusnya bisa menjaga dan membahagiakan anak-anak mereka dengan baik dan bukannya malah melakukan tindak kekerasan. Anehnya alasan orang tua yang ketahuan melakukan kekerasan ini sangat sederhana seperti karena anak tidak mau menurut perkataan orang tua, anak menangis meminta dibelikan sesuatu, anak yang mengompol, anak tidak ingin makan, dan masih banyak alasan sederhana lainnya.
Banyak contoh-contoh kasus yang kita dengar, baca, atau lihat di media tentang kasus kekerasan anak ini. Contohnya kasus Nabila bocah berusia 7 tahun, warga Desa Kebonjati, Sumedang Utara yang dianiaya ayah kandungnya Dede Yana Taryana. Nuraina, bocah usia 4  tahun yang diduga menjadi korban penganiayaan Ibu dan ayah hingga akhirnya tewas. Menurut kesaksian tetangga, ibu korban sering menyiksa  korban yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri. Angga, bocah kelas 5 SD 03 Kalibaru mengalami luka memar di bagian belakang kepala, pipi, hidung dan bibir akibat dianiaya ayah kandungnya sendiri karena meminta dibelikan sampul buku.
Di Cirebon sendiri banyak kasus kekerasan anak, tetapi sulit untuk diungkap. Menurut  Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, "Informasi keberadaan dan jaminan perlindungan yang diberikan LPSK, diharapkan mampu menjangkau pemenuhan hak korban, terutama di daerah. Wilayah Cirebon sebagai daerah pesisir utara, berpotensi tinggi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Sehingga sosialisasi LPSK sangat strategis di wilayah ini."
"Sulitnya pengungkapan kasus kekerasan seksual pada anak, disinyalir karena pelaku kekerasan didominasi orang terdekat korban. Seperti bapak kandung, tetangga, majikan, paman dan lain sebagainya, sehingga korban takut mengungkapkannya dan melapor ke aparat penegak hukum," ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta.
Selain kekerasan seksual tersebut, banyak juga kasus-kasus yang tidak muncul kepermukaan seperti kekerasan orang tua yang menganggap wajar menghukum anak dengan cara mencubit, memukul, menampar, menjewer, dan sebagainya, padahal hal seperti ini termasuk ke dalam kategori yang bisa dikategorikan kekerasan fisik pada anak dan ada sangsi pidananya.
Perlu diingatkan lagi bahwa kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana seperti pada  pasal 13 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
Menurut buku "Kitab Undang-Udang Hukum Pidana (KUHP) dan Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" yang ditulis R. Soesilo di KUHP tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan penganiayaan dan penganiayaan ringan. Namun, menurut Yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Contoh “rasa sakit” tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
Selain itu, ketentuan Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak juga sudah secara khusus mengatur tentang penganiayaan terhadap anak, dengan menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”
Dampak yang timbul akibat kekerasan pada anak sangat beragam, seperti anak akan merasa terancam, tertekan, gelisah, dan cemas, membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk mendisiplinkan anak yang mengakibatkan jika dewasa nanti anak akan menggunakan pendekatan kekerasan untuk mendisiplinkan anak, kelainan-kelainan psikologisnya trauma, bipolar (gangguan pada perasaan seseorang akibat masalah di otak, ditandai dengan perpindahan (swing) mood, pikiran, dan perubahan perilaku), dan banyak lagi.
Sebagai orang tua kita diharapkan  untuk dapat melatih mengelola emosi agar tidak melimpahkan kekesalan atau amarah sembarangan kepada anak dan bila perlu konsultasi kepada psikolog agar dapat mengendalikan emosi. Biasakan bersikap terbuka terhadap anak dan menghargai kejujuran anak agar anak tidak takut bersikap terbuka. Yakinkan anak, tak ada rahasia yang harus mereka sembunyikan, minta anak selalu menceritakan pengalamannya, peka pada perubahan yang terjadi pada anak, bila anak melakukan sesuatu yang baik berikan pujian secukupnya, jika anak melakukan kesalahan, maka beritahulah kalau itu salah dan jangan menghukum anak dengan hukuman yang tak sepantasnya. Ajak anak ke psikolog untuk pemeriksaan psikologis dan mendapat terapi yang sesuai agar anak bisa mengendalikan emosi yang dirasakan. Melakukan pemeriksaan untuk menanggulangi masalah fisik, selain itu juga orang tua harus menciptakan rasa aman bagi anak.
Harus diingat lagi untuk semuanya bahwa kekerasan yang dilakukan pada anak bukanlah metode pendisiplinan yang baik, jika dalam lingkungan keluarga saja anak sudah merasa tidak aman dan terancam, maka akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup baik psikis maupun fisik, cacat fisik memang dapat disembuhkan, tapi cacat psikislah yang sangat susah disembuhkan, sayangilah anak karena anak adalah anugrah terindah dalam hidup. Hentikan kebiasaan menghukum kesalahan anak dengan kekerasan fisik. Ubahlah pola pendisiplinan anak dengan cara yang lebih baik. Karena selain melanggar hukum perlindungan anak, kekerasan terhadap anak juga merupakan awal pembentukan generasi dengan pola hidup yang buruk. Mulailah perubahan itu dari lingkungan kita sendiri, karena hal sekecil apapun akan menentukan nasib anak di masa mendatang.

Di buat oleh Nurlaela
Mahasiswi Semester 3 DIKSATRASIA di Unswagati, Cirebon


Tidak ada komentar:

Posting Komentar