Kamis, 01 Januari 2015

Faeture Imas Sri Rahmawati



PAHLAWAN LUKISAN KACA

Sebagian masyarakat mungkin hanya mengetahui batik mega mendung sebagai ciri khas dari Kota Cirebon padahal tidak hanya itu saja yang menjadi ciri khas kota tersebut salah satunya, yaitu lukisan kaca yang kini mulai jarang keberadaannya. Selain itu, pelukisan kaca juga semakin sulit untuk ditemui. Beruntung saya bertemu dengan lelaki yang akrab disapa Miftah, dia adalah salah satu pengrajin lukisan kaca yang masih bertahan ditengah kerasnya persaingan pasar lukisan modern yang menjamur di Kota Cirebon. Saat ditemui di kios miliknya yang berukuran 4x3,5 cm di Jalan Sukalila, Kebon Belimbing, Cirebon, lelaki yang berusia 28 tahun dengan perawakan tinggi kurus dan berkulit sawo matang itu tampak ramah dan murah senyum. Raut wajahnya seolah menegaskan bahwa dia sangat senang dan berantusias ketika mengetahui bahwa dirinya hendak diwawancarai seputar karyanya yang tradisional itu. “Ia mulai belajar melukis kaca pada tahun 1992 ketika itu usianya sekitar enam tahun, tetapi ia baru terjun dalam pekerjaannya sebagai pelukis kaca baru sembilan tahun yang lalu hingga sekarang” ujar Miftah.
“Menjadi seorang pelukis kaca susah-susah gampang, selain harus memiliki keahlian dan kreativitas, melukis diatas media kaca membutuhkan sabar, ketelitian, kejelian, kerapihan agar tercipta karya yang indah” tegas Miftah. Sebelum melukis di atas kaca, pelukis harus membuat sketsanya terlebih dahulu pada kertas minyak atau kertas kalir. Setelah itu, kaca diletakkan diatas ketas yang sudah berisi pola sketsa yang kemudian barulah jari-jari lihainya menorehkan tinta pulpen khusus diatas kaca dengan mengikuti pola sketsa di bawahnya. Sedikit demi sedikit tintanya menampakan garir mebentuk sebuah gambar, sesekali ia mengahapus dan mulai membuat garis baru yang lebih baik. Dalam membuat pola di atas kaca pelukis tidak boleh terlalu menekankan tangannya karena kaca tersebut bisa saja pecah serta harus memperhatikan kelembapan udara jika tingkat kelembapan udaranya tinggi seperti keika musim hujan, pelukis harus ekstra bersabar karena kaca akan mudah mengembun dan harus sering dilap agar tetap kering sehingga mudah untuk dibuat sketsa. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pengecatan yang menggunakan teknik pengecatan dengan posisi terbalik yaitu objek yang dilukis bukan dibagian depan melainkan dibelakang kaca serta dengan menggunakan metode gradasi yaitu teknik pengecatan dilakukan denagan warna satu per satu dan harus mengutamakan warna dominan atau warna yang terang terlebih dahulu sehingga  menjadikan pembuatan lukisan ini cukup rumit dan memakan waktu yang relatif lama kurang lebih satu minggu untuk satu lukisan.
Miftah biasanya mulai bekerja dari jam 09.00-17.00 atau 09.00-20.00 WIB, dalam pekerjaannya tidak bos atau atasan yang akan mengawasinya sehingga ia pun menutup kiosnya sesuai dengan suasana hatinya. Selain itu, biasanya dia membuat lukisan dengan mengangkat tema kebudayaan Cirebon, seperti pewayangan, batik mega mendung, pakri singa barong, pakri naga liman, hal itu ia lakukan bukan hanya sekadar untuk mendapatkan rupiah melainkan sebgai bentuk uapaya melestarikan kesenian kota kelahirannya sendiri. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum penuh makna ketika Miftah mengatakan betapa bangganya ia karena bisa melestarikan salah satu kesenian Cirebon yang keberadaannya kini mulai mengkhawatirkan. Namun, Miftah tidak akan menolak apabila ada orang yang ingin dibuatkan lukisan dengan tema yang lain karena itu adalah bagian dari pekerjaan yang dicintainya.
Menurunnya peminat lukisan kaca menjadikan profesi tersebut sebagai sampingan. “Dari berbagai profesi yang saya tekuni saat ini, tetapi bagi saya melukis kaca lebih saya sukai karena memiliki kepuasan serta kebanggaan tersendiri terlebih lagi karena beberapa lukisannya diminati oleh kalangan artis hingga turis mancara negara seperti Malaysia, Singapura, Pakistan hingga turis asal negara sakura Jepang telah memboyong karyanya” ujar Miftah sembari mengenang peristiwa membanggakan itu. Kurangnya komunikasi antara para pelukis kaca seperti dirinya dengan pemerintah membuat pelukis kaca, tidak adanya tempat seperti pasar seni, event dan kurangnya kesadaran dari masyarakat Cirebon sendiri untuk ikut melestarikan lukisan kaca menjadi pendukung semakin tersingkirnya budaya Cirebon. Misalnya, ketika siswa ditugaskan untuk belajar membuat lukisan kaca mereka justru memilih jalan praktis dengan meminta pelukis kaca membuatkan lukisan kaca untuknya padahal para pelukis akan lebih senang jika mereka mau belajar walaupun pada akhirnya pelukislah yang akan menyelesaikan, tetapi setidaknya ada sedikit pengetahuan dasar bagi mereka dan mampu menghargai kebudayaannya sendiri. 
Perhatian dari pemerintah serta tempat bagi para pelukis kaca untuk mengupayakan kelestarian dan menumbuhkan kesadaran masyarakat terutama masyarakat kota Cirebon sangat dibutuhkan bagi mereka para seniman tradisional itu. Jika turis mancanegara saja menyukai kesenian kita, mengapa kita sebagai masyarakat asli kota ini tidak tertarik? Jika bukan generasi muda dan masyarakat Cirebon yang melestarikan kesenian lukisan kaca  siapa lagi? Jangan sampai kesenian dan budaya yang kita miliki diakui oleh negara lain. “Saya bertahan pada lukisan kaca ini karena saya bangga dan ingin melestarikan kesenian ini.” Katanya dengan penuh semangat.
  
  Lampiran Foto






 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar