PAHLAWAN
LUKISAN KACA
Sebagian
masyarakat mungkin hanya mengetahui batik mega mendung sebagai ciri khas dari
Kota Cirebon padahal tidak hanya itu saja yang menjadi ciri khas kota tersebut
salah satunya, yaitu lukisan kaca yang kini mulai jarang keberadaannya. Selain
itu, pelukisan kaca juga semakin sulit untuk ditemui. Beruntung saya bertemu
dengan lelaki yang akrab disapa Miftah, dia adalah salah satu pengrajin lukisan
kaca yang masih bertahan ditengah kerasnya persaingan pasar lukisan modern yang
menjamur di Kota Cirebon. Saat ditemui di kios miliknya yang berukuran 4x3,5 cm
di Jalan Sukalila, Kebon Belimbing, Cirebon, lelaki yang berusia 28 tahun
dengan perawakan tinggi kurus dan berkulit sawo matang itu tampak ramah dan
murah senyum. Raut wajahnya seolah menegaskan bahwa dia sangat senang dan
berantusias ketika mengetahui bahwa dirinya hendak diwawancarai seputar
karyanya yang tradisional itu. “Ia mulai belajar melukis kaca pada tahun 1992
ketika itu usianya sekitar enam tahun, tetapi ia baru terjun dalam pekerjaannya
sebagai pelukis kaca baru sembilan tahun yang lalu hingga sekarang” ujar
Miftah.
“Menjadi
seorang pelukis kaca susah-susah gampang, selain harus memiliki keahlian dan
kreativitas, melukis diatas media kaca membutuhkan sabar, ketelitian, kejelian,
kerapihan agar tercipta karya yang indah” tegas Miftah. Sebelum melukis di atas
kaca, pelukis harus membuat sketsanya terlebih dahulu pada kertas minyak atau
kertas kalir. Setelah itu, kaca diletakkan diatas ketas yang sudah berisi pola
sketsa yang kemudian barulah jari-jari lihainya menorehkan tinta pulpen khusus
diatas kaca dengan mengikuti pola sketsa di bawahnya. Sedikit demi sedikit tintanya
menampakan garir mebentuk sebuah gambar, sesekali ia mengahapus dan mulai
membuat garis baru yang lebih baik. Dalam membuat pola di atas kaca pelukis
tidak boleh terlalu menekankan tangannya karena kaca tersebut bisa saja pecah
serta harus memperhatikan kelembapan udara jika tingkat kelembapan udaranya
tinggi seperti keika musim hujan, pelukis harus ekstra bersabar karena kaca
akan mudah mengembun dan harus sering dilap agar tetap kering sehingga mudah
untuk dibuat sketsa. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pengecatan yang menggunakan
teknik pengecatan dengan posisi terbalik yaitu objek yang dilukis bukan
dibagian depan melainkan dibelakang kaca serta dengan menggunakan metode
gradasi yaitu teknik pengecatan dilakukan denagan warna satu per satu dan harus
mengutamakan warna dominan atau warna yang terang terlebih dahulu sehingga menjadikan pembuatan lukisan ini cukup rumit
dan memakan waktu yang relatif lama kurang lebih satu minggu untuk satu
lukisan.
Miftah
biasanya mulai bekerja dari jam 09.00-17.00 atau 09.00-20.00 WIB, dalam
pekerjaannya tidak bos atau atasan yang akan mengawasinya sehingga ia pun
menutup kiosnya sesuai dengan suasana hatinya. Selain itu, biasanya dia membuat
lukisan dengan mengangkat tema kebudayaan Cirebon, seperti pewayangan, batik
mega mendung, pakri singa barong, pakri naga liman, hal itu ia lakukan bukan
hanya sekadar untuk mendapatkan rupiah melainkan sebgai bentuk uapaya
melestarikan kesenian kota kelahirannya sendiri. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum
penuh makna ketika Miftah mengatakan betapa bangganya ia karena bisa
melestarikan salah satu kesenian Cirebon yang keberadaannya kini mulai
mengkhawatirkan. Namun, Miftah tidak akan menolak apabila ada orang yang ingin
dibuatkan lukisan dengan tema yang lain karena itu adalah bagian dari pekerjaan
yang dicintainya.
Menurunnya
peminat lukisan kaca menjadikan profesi tersebut sebagai sampingan. “Dari
berbagai profesi yang saya tekuni saat ini, tetapi bagi saya melukis kaca lebih
saya sukai karena memiliki kepuasan serta kebanggaan tersendiri terlebih lagi
karena beberapa lukisannya diminati oleh kalangan artis hingga turis mancara
negara seperti Malaysia, Singapura, Pakistan hingga turis asal negara sakura
Jepang telah memboyong karyanya” ujar Miftah sembari mengenang peristiwa
membanggakan itu. Kurangnya komunikasi antara para pelukis kaca seperti dirinya
dengan pemerintah membuat pelukis kaca, tidak adanya tempat seperti pasar seni,
event dan kurangnya kesadaran dari masyarakat Cirebon sendiri untuk ikut
melestarikan lukisan kaca menjadi pendukung semakin tersingkirnya budaya
Cirebon. Misalnya, ketika siswa ditugaskan untuk belajar membuat lukisan kaca
mereka justru memilih jalan praktis dengan meminta pelukis kaca membuatkan
lukisan kaca untuknya padahal para pelukis akan lebih senang jika mereka mau
belajar walaupun pada akhirnya pelukislah yang akan menyelesaikan, tetapi
setidaknya ada sedikit pengetahuan dasar bagi mereka dan mampu menghargai
kebudayaannya sendiri.
Perhatian
dari pemerintah serta tempat bagi para pelukis kaca untuk mengupayakan
kelestarian dan menumbuhkan kesadaran masyarakat terutama masyarakat kota
Cirebon sangat dibutuhkan bagi mereka para seniman tradisional itu. Jika turis
mancanegara saja menyukai kesenian kita, mengapa kita sebagai masyarakat asli
kota ini tidak tertarik? Jika bukan generasi muda dan masyarakat Cirebon yang
melestarikan kesenian lukisan kaca siapa
lagi? Jangan sampai kesenian dan budaya yang kita miliki diakui oleh negara
lain. “Saya bertahan pada lukisan kaca ini karena saya bangga dan ingin
melestarikan kesenian ini.” Katanya dengan penuh semangat.
Lampiran Foto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar